Selasa, 31 Mei 2011

Konsolidasi Perbankan Swasta dan Bank BUMN


Dalam dua minggu terakhir berita tentang konsolidasi perbankan ramai di media nasional. Ada berita Bank Internasional Indonesia sedang mengevaluasi kemungkinan merger dengan Bank Danamon. Selanjutnya berita manajemen Bank Niaga belum menentukan sikap tentang merger dengan Bank Lippo. Yang paling hangat adalah berita pada minggu terakhir September, bahwa Bank Mandiri siap menjadi konsolidator bank BUMN, dan berita tentang sedang dikaji apakah Bank Rakyat Indonesia atau Bank Negara Indonesia yang akan mengakuisisi Bank Tabungan Negara (BTN).
Selain berita tentang kemungkinan merger atau akuisisi di antara bank-bank besar, kita juga mendengar beberapa bulan terakhir adanya akuisisi atau merger bank-bank kecil. Ada gabungan beberapa bank kecil yang ingin melakukan merger. Ada bank kecil yang diakuisisi oleh bank besar untuk dikonversi menjadi bank syariah. Ada bank-bank kecil yang diakuisisi oleh bank asing. Misalnya, bank dari Belanda (Rabo Bank) membeli Bank Haga, bank dari China (ICBC Bank) membeli Bank Halim, bank dari Jepang membeli Bank Nusantara Parahyangan, bank dari India membeli Bank Swadesi.
Tak usah heran, berita-berita tersebut akan menjadi semakin hangat karena ada tiga hal yang diminta Bank Indonesia untuk diselesaikan perbankan sampai akhir tahun 2007.
Pertama, BI mengharuskan semua bank kecil memenuhi persyaratan modal minimum Rp 80 miliar.
Kedua, BI mengharuskan semua bank, baik kecil maupun besar, memenuhi persyaratan Bank Berkinerja Baik (termasuk syarat rasio permodalan).
Ketiga, BI mengharuskan perbankan yang terkena aturan kepemilikan tunggal untuk menyampaikan action plan (rencana aksi) pada akhir 2007.
Walaupun kepada pemerintah diberikan dispensasi tenggat penyampaian rencana aksi bank BUMN, realisasinya tetap diharapkan selesai pada akhir 2010 seperti yang berlaku bagi bank swasta nasional.
Apakah itu aturan kepemilikan tunggal atau biasa disebut single presence policy (SPP)? Peraturan ini mengharuskan pemegang saham pengendali tidak boleh memiliki lebih dari satu bank di Indonesia. Pemegang saham pengendali mempunyai tiga pilihan: pertama, melakukan penggabungan (merger) beberapa bank yang dimilikinya; kedua, melakukan divestasi kepemilikan ke bawah 25 persen sehingga hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank saja; atau ketiga, membentuk financial holding company (induk perusahaan keuangan). Menurut saya, pembentukan financial holding company tidak akan efektif karena jumlah bank tidak berkurang, sedangkan risiko sistemik stabilitas sistem keuangan akan meningkat.
Tampaknya ide awal dari peraturan SPP adalah ingin mengendalikan kepemilikan asing di perbankan Indonesia sekaligus mengurangi jumlah bank supaya efisien bagi BI mengawasi perbankan. Walaupun investor asing telah memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan keahlian perbankan Indonesia, secara politis tampaknya tidak bisa ditoleransi apabila sebuah institusi asing memiliki beberapa bank di Indonesia.
Aturan SPP sebenarnya terdapat pula di Thailand. Pandangan ini mungkin terlalu nasionalis, tetapi saya bisa pahami karena di Amerika Serikat pun, perusahaan asing dilarang memiliki saham melebihi jumlah tertentu di bank-bank besar.
Namun, berhubung Indonesia terikat perjanjian internasional dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), definisi pemegang saham pengendali akhirnya tidak hanya berlaku bagi pihak asing, tetapi juga bagi pihak Indonesia, termasuk pemerintah sebagai pemilik bank BUMN. Yang anehnya, berhubung keterikatan kepada perjanjian WTO, cabang bank asing dan bank patungan tidak terkena peraturan SPP. Akibatnya, misalnya, cabang Standard Chartered Bank di Indonesia tidak harus melakukan merger dengan Bank Permata.
Bank patungan asing juga tidak perlu merger jika mereka memiliki bank nasional di Indonesia. Contohnya Bank Mitsubishi UFJ tidak perlu merger dengan Bank Nusantara Parahyangan. Dengan demikian, akhirnya yang terkena peraturan SPP hanyalah Bank Internasional Indonesia (BII)-Bank Danamon, Bank Niaga-Bank Lippo, dan bank BUMN. Tentu saja hal ini mengurangi efektivitas aturan SPP dalam menurunkan jumlah bank di Indonesia.
Temasek, perusahaan investasi milik Pemerintah Singapura, menjadi pemegang saham pengendali di Bank Danamon dan BII. Kepemilikan Temasek di BII adalah bersama-sama dengan anggota konsorsium Sorak yang di dalamnya terdapat Kookmin Bank (Korea).
Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan analis perbankan mengenai ide merger Bank Danamon dan BII.
Pendapat yang pertama mengatakan, berhubung kinerja keuangan BII tidak sebaik Danamon, bank hasil merger akan turun valuasi sahamnya, merugikan pemegang saham. Karena itu, akan lebih baik bagi Temasek menjual kepemilikan sahamnya di BII kepada Kookmin Bank, mungkin Kookmin bersedia membeli dengan harga tinggi.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa merger Bank Danamon dan BII akan membentuk satu bank dengan aset sekitar Rp 80 triliun, jumlah cabang sekitar 700, menguasai dua perusahaan pembiayaan sepeda motor terbesar di Indonesia (Adira dan WOM Finance), dan bertumbuh cepat di sektor kredit mikro melalui Danamon Simpan Pinjam.
Saya cenderung lebih setuju dengan pendapat kedua. Tentu saja syaratnya Danamon membeli BII tidak terlalu mahal, dan manajemen bank hasil merger Danamon-BII harus bisa meningkatkan kinerja aset dan operasional BII dan WOM Finance. Penting juga segera diterbitkan insentif pajak untuk terwujudnya merger perbankan.
Pertarungan BUMN
Yang bakal seru adalah pertarungan bank BUMN menjadi bank konsolidator dan siapa yang bakal mengakuisisi BTN. Proses go public BTN ditunda karena masalah krusial BTN adalah mencari dukungan dana jangka panjang untuk mengembangkan kredit kepemilikan rumah (KPR) untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Walaupun sekarang sudah berlomba-lomba masuk ke KPR, bank-bank nasional belum mau masuk ke KPR untuk rumah sangat sederhana. Kalau melihat segmen bisnisnya, yaitu segmen usaha kecil (kredit ritel, mikro), tampaknya lebih cocok apabila BRI mengakuisisi BTN.
Ide Bank Mandiri dan BNI sebagai bank korporasi juga pasti akan mencuat kembali. Seperti biasa kita nanti akan dengar berbagai pendapat dari anggota DPR mengenai konsolidasi Bank BUMN karena setiap bank akan mempunyai argumentasi mengenai posisi banknya.
Saran saya, sebaiknya pemerintah dan DPR mempertimbangkan dengan baik-baik, mau dibawa ke mana bank BUMN kita. Yang menjadi tujuan seharusnya tidak hanya bank tersebut eksis, tetapi bank BUMN menjadi bank yang kuat, bank yang mempunyai kinerja keuangan terbaik di Asia Tenggara, dan yang terpenting dikelola dengan hati-hati sehingga tidak merugikan para penabung dan tidak perlu direkapitalisasi lagi oleh rakyat negara ini.
Jadi, sebelum kita membahas siapa yang mengakuisisi siapa, maka pemerintah, Bank Indonesia, dan DPR harus bisa menjawab dulu pertanyaan penting, apakah negara ini bisa menjamin bank BUMN akan selalu dikelola oleh bankir-bankir yang pruden? Bagaimana menghilangkan intervensi pejabat dan intervensi politis yang negatif dalam pengelolaan Bank BUMN?
Contohnya, Bank Mandiri saat ini dikelola oleh manajemen yang cukup berhati-hati, tetapi tidak ada jaminan bahwa hal itu akan berlangsung terus apabila terjadi pergantian manajemen di kemudian hari. Kalau kita belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial itu, penggabungan bank-bank BUMN hanya akan memperbesar risiko sistemik di sistem keuangan Indonesia di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar