Resensi Novel Marmut
Merah Jambu
Pengalaman Raditya Dika dalam hal : Jatuh Cinta“
Novel Marmut Merah Jambu
Judul Buku :
Marmut Merah Jambu
Genre Buku :
Nonfiksi – Komedi
Penulis :
Raditya Dika
Penerbit :
Bukuné
Tempat Terbit : Jakarta
Tanggal Terbit : 1 Juni 2010
Tebal Buku : 222
hlm ; 13×20 cm
Harga Buku : Rp
39.000
Raditya Dika adalah seorang penulis dan juga blogger yang
telah terkenal dengan buku – bukunya yang bertema komedi. Setelah sukses dengan
buku – buku sebelumnya yaitu Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Radikus
Makankaskus dan Babi Ngesot. Yang paling terkenal adalah buku pertamanya yang
berjudul Kambing Jantan yang telah dikomikkan dan difilmkan, pada tanggal 1
Juni 2010 Dika meluncurkan buku kelima-nya yang berjudul Marmut Merah Jambu.
Seperti yang di kutip pada sinopsis buku ini:
Marmut Merah Jambu adalah kumpulan tulisan komedi Dika.
Sebagian besar dari tiga belas tulisan ngawur di dalamnya adalah pengalaman dan
observasi Dika dalam menjalani hal paling absurd (konyol) di dunia : Jatuh
Cinta.
Sama dengan
buku – buku sebelumnya, judul buku ini masih bertema binatang: Marmut Merah
Jambu. Secara garis besar, buku ini adalah soal cinta dengan bagaimana memahami
apa itu cinta melalui introspeksi ke dalam pengalaman – pengalaman Raditya Dika
sendiri dan tentu saja dengan khas gaya komedinya yang lebih manis dan halus
berbeda dengan buku sebelumnya.
Ya..! di buku yang kelima ini Dika telah mencoba memperbaiki
kebiasaanya dalam menggunakan kata- kata yang cenderung selengean, karena
sebagian besar peminatnya adalah anak remaja. Jadi, penggunaan kata dalam buku
ini lebih halus, namun bukan berati kehilangan khasnya Dika. Lelucon –
lelucon yang bisa mengocok perut waktu
membaca buku ini tetap ada.
Ada pula Dika banyak menggunakan kutipan – kutipan yang
menarik dari beberapa komik. Salah satunya kutipan dari komik Peanuts yang
dipakai, ketika tokoh Charlie Brown yang sangat suka selai kacang. Dia jatuh
cinta terhadap seseorang dan cintanya tak terbalas. Inilah kata – kata dari
Charlie Brown “Nothing takes the flavor out of peanut butter quite like
unrequited love”.
Dari segi cerita, buku ini terdiri atas tiga belas bab yang
berupa cerita yang saling lepas. Sebagian besar cerita di buku ini adalah
membahas pengamatan dan pengalamn pribadi Dika. Ada cerita cinta masa – masa
puber saat SMP sampai sekarang ini, jatuh cinta diam – diam, cinta bertepuk
sebelah tangan, cinta yang datang tidak disengaja, sampai di taksir sama dua
cewek kembar aneh. Semuanya ditulis dengan gaya komedi dan konyol yang nggak
akan ngebosenin.
Semua yang dituliskan di buku ini tetang diri Dika sendiri,
tapi yang ditulisnya adalah hal – hal aneh, konyol dan rada sedikit bego.
Bahkan, disini diungkapkan tentang saran seorang temannya, agar Dika menulis
sesuatu yang serius karena dia mampu untuk itu. Bener juga sih, untuk apa nulis
sesuatu tentang kebodohan diri sendiri? Namun, yang berhasil Dika lakukan
disini adalah meramu semua itu menjadi sesuata yang lucu dan bisa ditertawakan
rame – rame. Yang akhirnya kita bisa berkaca dari pengalaman Dika untuk bisa
menjadi lebih baik.
Dari ke tiga belas bab di buku ini saya (peresensi) memilih
beberapa bab yang cukup menarik untuk di review (kutip) dalam resensi ini,
salah satu judulnya Pertemuan Terakhir dengan Ina Mangunkusumo.
Cerita ini berawal saat Dika bercerita tentang pertemuannya
dengan seorang cewek yang pernah ditaksirnya pada masa SMA, namanya Ina.
Setelah sebelumnya sukses mengajak jalan cewek ini (diceritakan di bab
Pertemuan Pertama dengan Ina Mangunkusumo), kebiasaan itu terus berlanjut tanpa
ada kesan – kesan berarti bagi Ina. Mereka pun berpisah karena Dika harus
kuliah di Adelaide. Sampai kemudian mereka bertemu kembali. Pada pertemuan
mereka kemudian, Ina sudah bekerja di sebuah Event Organizer dan Dika telah
menjadi penulis. Mereka melakukan pertemuan seperti dahulu.
Di kesempatan itu, Ina curhat dengan Dika tentang Anto,
cowok yang selalu diceritakan Ina ke Dika pada masa SMA dulu dan Ina ternyata
masih menyimpan perasaan kepada Anto. Sampai akhirnya Anto bilang ke Ina kalau
dia sudah punya pacar, saat itu Ina mulai sadar akan keberadaanya.
Sebenernya di pertemuan ini Dika ingin memberi tau Ina kalau
dia lagi membuat buku baru, yaitu Marmut Merah Jambu yang akan ada bab tentang
perasaan cintanya tak terbalas pada Ina yang nggak pernah tau. Saat itu, Dika
dibilang berada dalam keadaan bingung untuk mengambil keputusan bagaimana
caranya untuk memberi tau Ina.
Akhirnya Dika mangatakannya juga pada Ina. Tapi sebelum
selesai bercerita…
‘…Di salah satu bab buku ini ada cerita tentang cewek yang
gak pernah bisa gue dapetin.’
Ina menaikkan alisnya, mulutnya kebuka setengah, lalu dia
ketawa sekenceng – kencengnya, ‘HAHAHAHAH! Cinta tak terbalas? Serius? Lo
ngapain peke nulis gituan segala sih?’
Muka Ina berubah jadi merah. Seolah – olah dia baru
diceburkan ke dalam kuali. Sedangkan muka gue juga berubah jadi merah. Solah –
olah gue ikutan nyebur dalam kuali, belepotan minta tolong.
“Bukan sama gue kan? Hahahahahah!” Ina ngomong ngasal.
“Eeeeeeerrr yah bukan, masa sama elo, bukan, iya lah bukan,
hahahahah bukan hahahahah, gak segitunya, ge’er lo!” gue mulai meracau.
Kampret……
Ina menghela napasnya. Dia berkata, ‘Lo tau gak sih. Menurut
gue pemikiran yang bilang, “kita hanya bisa sempurna jika ketemu dengan
soulmate kita” itu pemikiran yang jahat banget.’
‘Maksudnya?’
‘Gini lho,’ kata Ina. Sekarang dia melihat ke mata gue
tajam. ‘Kenapa kita baru bisa dibilang komplit dengan kehadiran orang lain itu?
Kenapa gak dengan kehadiran sebuah barang, atau…atau hobi, baru kita dibilang
komplit? Kenapa harus dihubungkan dengan orang lain? Kenapa kesempurnaan hidup
kita, sebagai manusia, harus ditandai bahwa kita udah bisa ketemu dengan
soulmate kita?’
Bener juga sih… Bagaimana dengan para jomblo abadi, yang
mungkin mati sendirian? Bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak pernah
mencintai orang lain? Atau, ini yang paling parah: bagaimana dengan orang yang
cintanya selalu bertepuk sebelah tangan?
Unrequited love (cinta tak terbalas), adalah hal yang paling
bisa bikin kita ngis tanah. Untuk tau kalau cinta kita tak terbalas, rasanya
seperti bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkan orang tersebut. Rasanya,
seperti diingatkan bahwa kita, memang tidak sempurna, atau setidaknya tidak
cukup sempurna untuk orang tersebut.
Cerita berakhir dengan memberikan kita sesuatu momen
perenungan yang intinya tentang keberadaan seseorang yang takkan bisa kita
lupakan sepenuhnya. Orang yang, (mengutip Charlie Brown yang sangat suka selai
kacang dari komik Peanuts) menghilangkan rasa selai kacang Dari lidah kita.
Buat Dika, Ina adalah orang yang menghilangkan rasa selai kacang di lidahnya.
Yang awalnya Dika ingin membocorkan rahasia isi bukunya,
pada pertemuan itu pula Dika mengurungkan niatnya sampai akhirnya buku ini
terbit. Itulah hal ter-manis yang Dika lakukan.
Kemudian bab yang akan di review (kutip) dalam resensi ini
yaitu bab terakhir yang menjadi favorit saya (peresensi). Di bagian bab Marmut
Merah Jambu inilah kita bisa melihat sisi aslinya sang penulis Raditya Dika.
….Dia melihat gue dan bilang dengan sungguh – sungguh, ‘Kita
bakalan kayak gini terus, kan?’
‘Aku pengen kita begini terus,’ kata gue, sambil mempererat
genggaman gue.
Saat itu gue sadar, inilah apa yang coba gue (Dika) coba
tulis di buku Marmut Merah Jambu ini: tentang bagaimana manusia pacaran,
tentang manusia jatuh cinta, tentang gue jatuh cinta. Dari mulai bagaimana
jatuh cinta diam – diam, sampai naksir via chatting. Dari mulai susahnya
mutusin cwek, sampai ditaksir sama cewek aneh. Dari mulai kita nembak cewe,
sampai akhirnya membuat janji seperti lazimnya orang pacaran lainnya, seperti:
kita bakalan kayak gini terus. Janji yang terkadang gak bisa ditetapi.
Dika memulai buku ini dengan berusaha memahami apa itu cinta
melalui introspeksi ke dalam pengalaman – pengalaman Dika sendiri. Dan di
halaman terakhir Marmut Merah Jambu ini, Dika merasa… tetap tidak mengerti,
sama seperti Dika memulai halaman pertama.
Alih – alih seperti belalang, Dika merasa seperti seekor
marmut merah jambu yang terus – menerus jatuh cinta, loncat dari satu
relationship (hubungan) ke relationship yang lainnya, mencoba terus berlari di
dalam roda bernama cinta, seolah – olah maju, tapi tidak… karena sebenarnya
jalan di tempat. Seperti marmut yang tidak tau kapan harus berhenti berlari di
roda yang berputar.
Jadi, yang bisa pembaca ambil maknanya dari buku ini adalah
bagaimana kita bisa berkaca dari pengalamannya Dika untuk bisa jadi lebih baik,
bagaiman kita bisa menertawakan dan have fun dengan kesalahan / kekeliruan /
kekurangan yang kita miliki. Bukan berarti kita tidak tau diri dan tidak punya
malu. Hanya saja, ketika kita tak sengaja membuat kesalahn, kita jangan terlalu
terpekur, tertegun dan merenungi nasib hingga depresi. Seharusnya, hal tersebut
dapat dijadikan pengalaman untuk lebih baik, tidak perlu sembunyi akan
kesalahan tersebut, bahkan kita dapat mengungkapkannya lewat sebuah cerita yang
di tulis di blog yang akhirnya tak disangka bisa dijadikan novel seperti
Raditya Dika. Tentu saja dengan tujuan agar kita bisa lebih baik dari waktu
yang akan datang.
Hikmah lain yang bisa pembaca ambil juga adalah, tentang
kekompakan dan curahan kasih sayang sebuah keluarga. Yang ternyata Dika sangat
perhatian dengan adik – adiknya bahkan kucing peliharaan keluarganya dibuatkan
tokoh utama di salah satu bab dimana sang kucing ‘dimanusiakan’. Disini juga
diceritakan sang mama yang sangat khawatir dengan sunatan Edgar adik bungsu
dika berharap segalanya berjalan lancar
(diceritakan di bab Balada Sunatan Edgar). Lalu tentang royalty buku – buku
Dika yang diperuntukan adik – adiknya. Cerita tentang ayahnya yang sepertinya
cuek tapi ternyata perhatian pada Dika dengan ngasih bingkisan lewat orang
suruhan ayahnya di detik – detik terakhir di bandara ketika Dika mau shooting
di Oz (diceritakan di bab Catatan Si Pemeran Utama dengan Muka Kayak Figuran)
Ada juga cerita tentang sebuah perjuangan dan konsistensi.
Di bab yang bejudul Catatan Si Pemeran Utama dengan Muka Kayak Figuran ini,
diungkapkan mengenai proses pembuatan buku kambing jantan hingga menjadi sebuah
film. Awalnya Dika ditawari sebuag PH ternama yang bukan merupakan PH yang
akhirnya menjadikan film kambing jantan terwujud. Sampai akhirnya, Dika bertemu
dengan produser yang benar – bener mewujudkan terealisasikannya film kambing
Jantan walau dalam waktu yang cukup panjang dari dibukukannya Kambing Jantan.
Buku Marmut Merah Jambu ini ditulis dengan bahasa sehari –
hari Dika atau bahasa khas gaul anak Jakarta. Disini kemampuan Dika meramu kata
– kata yang tak biasa dan menjadikannya humor telah jauh berkembang. Buku ini
seperti ditulis dengan pertimbangan yang lama dan panjang untuk setiap kata –
kata dan kalimat – kalimatnya. Dan yang paling luar biasa dari karya Dika
adalah kata – kata kontemplatif yang ditulisnya disetiap bab. Dengan sukses
membuat perasaan pembaca menjadi bercampur aduk, dalam buku ini Dika
membedahnya cukup baik dengan menembak dengan mengena pada bagian – bagian
tertentu yang bisa membuat pembaca termenung sejenak, mengingat hidup mereka,
kemudian bisa jadi berakhir dengan senyuman bahagia atau senyuman yang tak bisa
digambarkan dengan kata – kata, tertawa terbahak – bahak samapai teriris miris.
Dilihat dari fisiknya, buku ini lebih tebal, dan lebih
berbobot. Cover depannya memiliki warna yang lebih terang dan cerah. Kertas
yang digunakan juga mempunyai kualitas yang bagus. Terdapat pula pembatas buku
yang pada cetakan pertama berbentuk kaos dan cetakan kedua berbentuk marmut.
Setiap buku tentu mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tak
terkecuali buku ini. Saying sekali, ada beberapa kalimat yang tidak lengkap
atau hilang pada beberapa bab yang mungkin akibat kesalahan pada bagian
editing. Contohnya pada bab Pertemuan Pertama dengan Ina Mangunkusumo, ada
paragraph yang tidak selesai dan sehingga membuat pembaca agak bingung dengan
missing scene ini.
Jenis humor yang berbeda dari Dika ketimbang di buku
sebelumnya juga mempengaruhi pembaca. Karena humor yang ada di sini bisa
dikatakan lebih halus. Sulit sebenarnya mengatakan apa itu kelebihan atau
kekurangan, karena itu sebenarnya masalah selera pembaca. Sebagian pembacaada
yang mengatakan bahwa Marmut Merah Jambu lebih lucu, tapi ada juga yang
mengatakan kurang. Tapi menurut saya (peresensi), sejauh ini buku yang di tulis
Dika tetap memberikan hal yang bagus dan menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar